“Karakter yang membuat kita
keluar dari tempat tidur, komitmen yang memindahkan kita ke dalam tindakan, dan
disiplin yang membuat kita mampu untuk menindaklanjuti.”
-Zig Ziglar-
Pendidikan bukan hanya semata-mata melaksanakan kurikulum. Jauh lebih
penting dari itu adalah falsafah pendidikan itu sendiri. Apa falsafah terhadap
murid, kurikulum pendidikan dan guru. Dan yang tidak bisa diabaikan juga adalah
bagaimana falsafah itu dijabarkan dalam tataran praktis kehidupan. Sekolah itu
untuk cari ilmu, bukan untuk cari nilai.
Setiap orang dalam kehidupan kita itu adalah guru, dan setiap tempat dimana
kita berpijak itu adalah sekolah. Dan itulah laboratorium kehidupan.
Dimana ada pendidikan
disitulah akan bangkit peradaban yang agung. Pendidikan bukanlah milik mereka
yang kaya saja, bukan pula kekuatan mereka yang cerdas. Pendidikan adalah milik
mereka yang mau belajar, mencari kebenaran, menemukan kekuatan, dan membawa
perubahan. Pendidikan yang sebenarnya akan menjadi bangunan yang megah dalam
jiwa.
Namun kini tempat
yang semestinya kita gunakan sebagai pusat untuk menimba ilmu. Seolah-olah
telah berubah menjadi wadah untuk menyalurkan gaya, penampilan, dan sedikit
kesombongan. Bagaimana tidak saya berbicara demikian. Ini pengalaman saya
sewaktu ikut menjadi Tim Pokja (kelompok kerja) pengembangan soft skill di kampus dan saya yang
bertugas mengkoordinir atas mandat dari salah satu dosen saya.
Saya temui mereka
satu persatu, saya amati, saya observasi, saya ajak komunikasi hasilnya itulah
yang saya temukan. Sedikit sekali dari mereka yang datang ke kampus benar-benar
mengetahui tujuan utamanya. Parahnya lagi ketika diberikan angket jawaban
responden benar-benar menggambarkan bahwa mereka tidak memiliki minat yang
tinggi untuk berprestasi atau belajar dengan bersungguh-sungguh. Atribut soft skill jauh dari mereka.
Apa yang sebenarnya
Anda cari ke kampus? Berpakaian necis seperti menirukan selebritis yang identik
dengan gaya hidup mewah. Motor bagus, mobil mahal dan mengkilap demikian yang
banyak dapat kita lihat di beberapa kampus saat ini. ini bukanlah rasa iri
pribadi saya terhadap situasi demikian, namun dari pengamatan yang saya lakukan
tampaknya telah terjadi pergeseran dan motif-motif yang berbeda pada mereka
yang datang ke kampus saat ini.
Apakah berpenampilan necis itu tidak baik di kampus?
Apakah ada yang salah ketika mahasiswa menaiki mobil mewah? Tentu saja
jawabannya saya adalah tidak. Kita mengerti untuk datang ke tempat-tempat resmi
atau tempat umum sudah seharusnya berpakaian rapi dan sopan sebagai bentuk
kepribadian kita. Namun Anda telah melihat sendiri sekarang kita tidak bisa
melihat hanya dari sisi tampilannya saja kan? Kita telah keliru. Lihat saja
pakaian koruptor yang sebelumnya sangat meyakinkan itu.
Meskipun saat ini
banyak mahasiswa yang mengatakan datang ke kampus dengan alasan untuk belajar,
tetapi hanya sedikit dari mereka yang tahu bagaimana cara belajar yang baik.
Mereka hanya datang duduk diam. Mereka sibuk mencari akal bagaimana mendapatkan
nilai yang bagus. Entah dengan menggunakan pendekatan pribadi dengan Dosennya, tukar menukar atau
barter, bahkan mengancam Dosennya
seperti peristiwa pembunuhan Dosen
oleh mahasiswanya baru-baru ini.
Mereka hanya tahu
cara belajar dalam dunia formal saja. Padahal dalam dunia informal ataupun
nonformal banyak pengetahuan yang bisa kita dapatkan. Seperti pendapat Rhenald
Kasali dalam bukunya yang berjudul Self
Driving, generasi yang seperti ini adalah generasi yang akan tumbuh menjadi
passenger atau generasi yang
bermental penumpang yang dintandai dengan mental-mental sebagai berikut:
1) Sudah
puas dengan keadaan sekarang
2) Tidak
menyukai tantangan baru
3) Takut
menghadapi masalah dan takut melakukan kesalahan
4) Dikendalikan
oleh autopilotnya
5) Sangat
mencintai jabatan atau kekuasaan
6) Menyandera
organisasi sebagai alat untuk menumpang hidup
Ini baru dikalangan
mahasiswa. Saya juga melihat ada yang kurang baik dari kalangan akademisi yang
mengelola kampusnya dan yang mengajarnya juga. Mereka hanya mampu mencetak
orang yang katanya pintar secara akademis namun jauh dari nilai-nilai kejujuran
dan cinta kasih. Saat mahasiswa itu telah tumbuh dan memasuki dunia birokrasi
atau perusahaan, akibatnya kebenaran menjadi sulit ditemukan. Korupsi merajalela
bahkan merasuk ke kampus-kampus yang dilakukan secara terbuka oleh orang-orang
pintar tanpa rasa malu, kejujuran menjadi sesuatu yang sulit ditemukan, dan
keadilan mudah tergadaikan.
Dalam konteks inilah
sebenarnya kita harus memandang problem substansial dari dunia pendidikan
tinggi kita. Kampus telah kehilangan rohnya, tidak ada lagi tradisi akademik
yang mengedepankan keterbukaan, kejujuran, dan pertangungjawaban, tidak ada
lagi reward or punishment secara
obyektif bagi yang berprestasi atau bermasalah, tidak ada lagi budaya diskusi
yang baik sebagai sarana disseminasi IPTEKS, tidak ada lagi budaya membaca dan
meneliti sehingga perpustakaan dan penelitian diperlakukan apa adanya, dan
akhirnya tidak ada lagi academic
responsibility dalam praktik kehidupan akademik.
Beberapa hal di atas
hanyalah segelintir indikator dalam budaya akademik yang harusnya kita miliki,
yang merupakan core values dan
harusnya senantiasa melekat dalam pengelolaan masyarakat akademik, sehingga
bilamana ciri khas ini hilang, maka hilanglah masyarakat akademik itu. Inilah
yang menyebabkan kenapa mereka yang datang ke kampus tidak menjadi cerdas.
Nilai A yang mereka dapatkan itu menjadi nilai semu yang sulit untuk
dipertanggungjawabkan.
Sekali lagi kita
cermati bahwa, bagi yang datang ke Universitas itu mestinya belajar. Fokusnya
ialah belajar dan sanggup berkotor-kotor dalam segala aktivitas kampus, baik
itu dalam kegiatan belajar berkelompok atau dalam komunitas, mengikuti kegiatan
organisasi mahasiswa, ataupun mendirikan kelompok-kelompok kecil yang mempunyai
visi membawa perubahan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar